Rabu, 21 Desember 2011

TANA TORAJA


Sebagian besar masyarakat Toraja bekerja sebagai petani. Yang lain pada bidang usaha, seperti peternakan, perikanan, industri kecil, kerajinan, perdagangan, dan pegawai. Mengenai usaha peternakan, terbatas pada kerbau dan babi karena dalam upacara- upacara adat tradisional keduanya mempunyai peran yang penting. Mengenai nama Toraja, to berarti orang, raja berarti atas jadi artinya orang dari gunung. Akan tetapi masyarakat Toraja lebih suka memakai nama Toraya yang berarti orang mulia atau agung.
Rumah adat Tana Toraja adalah Tongkonan, yang berarti rumah untuk duduk, musyawarah, dan menyelesaikan permasalahan- permasalahan. Tongkonan selalu menghadap ke utara karena utara adalah sumber penghidupan. Ruang tengah disebut Sali yaitu untuk orang duduk dan makan. Kamar depan disebut tando,yang menghadap ke utara untuk saudara dekat atau tamu yang menginap. Kamar belakang disebut sumbung, yang menghadap selatan yaitu untuk tempat tidur tuan rumah dan tempat menyimpan barang- barang berharga dan benda pusaka. Untuk menunjang ujung atap yang namanya longa, diberi tiang sokong pada posisi depan dan belakang. Untuk memperkuat longa, ditambah unsur konstruksi, yaitu taulonga. Terdiri dari rando- rando (balok vertikal) dan pampang taulonga (mendatar) jumlahnya biasanya selalu ganjil.
Rumah Toraja dihiasi dengan tulang kepala kerbau (kabongo) yang dipasang di depan rumah sebagai lambang kekuasaan. Dihiasi juga tanduk- tanduk kerbau sebagai lambang status sosial, makin banyak tanduk berarti sudah berkali- kali melaksanakan upacara Rambu tukang (upacara kebahagiaan). Patung seperti kepala ayam (katik) mengandung arti bahwa tongkonan itu adalah penyebar dan pelaksana aturan- aturan sebagai pembimbing, pendidik dan pengayom masyarakat. Ukiran matahari melambangkan kehidupan manusia diatur oleh satu pusat. Ukiran ayam jago melambangkan aturan dalam masyarakat dan simbol kepemimpinan, terletak di atas ukuran matahari. Ukiran tanduk kerbau melambangkan kemakmuran.
Berbagai pesta di Tana Toraja yaitu, Rambu tukang (upacara kebahagiaan) seperti pesta panen, perkawinan, atau selesai membuat rumah. Rambu Solo’ (upacara kedukaan) seperti upacara kematian. Tahap- tahap upacara beragam, tergantung tingkatan dalam masyarakat. Sebelum jenazah di upacarakan, dibuat pondok penerimaan tamu dan penginapan secara gotong royong. Bagi seseorang yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat, maka dibuat patung yang menyerupai jenazah yang disebut tao- tao. Patung terbuat dari pohon nangka karena pohon berwarna kuning yang melambangkan darah bangsawan. Getah pohon nangka berwarna putih melambangkan darah bangsawan.
Setelah melalui tahap upacara dari rumah, jenazah di arak ke padang (rante). Selanjutnya yaitu upacara makpalao yang merupakan acara paling ramai. Berjalan paling depan adalah iringan kerbau. Kerbau belang mempunyai nilai lebih tinggi dibanding kerbau polos. Penari tarian perang sebagai pengawal jenazah. Pemukul gong disusul dengan rombongan rumbai- rumbai sebanyak tingkatan upacara. Urutan selanjutnya adalah usungan jenazah. Kain pembungkus melambangkan tingkatan upacara, jika mengorbankan 1- 5 kerbau maka kain berwarna putih. Jika mengorbankan lebih dari 9 kerbau maka kain berwarna merah yang dihiasi lapisan emas dengan motif- motif tertentu sesuai penggolongannya. Di belakang orang- orang yang memegang kain merah adalah sanak saudara. Makin panjang kain merah, berarti semakin banyak pula saudara yang hadir. Dan makin banyak pengiring merupakan pengakuan bahwa orang yang meninggal adalah orang yang sangat dihormati.
Usungan tok pamali, yaitu orang yang tidak makan nasi sebagai bagian yang terlibat dalam acara. Patung tao- tao juga ikut diarak. Rombongan makbadong, melantunkan syair- syair yang berisi asal usul manusia yang juga menceritakan riwayat almarhum yang meninggal. Setiba ditempat upacara, kerbau diarak tiga kali mengelilingi balang kayakan kemudian jenazah dinaikan diaatas lakyan. Adu kerbau merupakan selingan upacara yang menarik. Menginjak hari ke lima, diadakan penyembelihan kerbau secar resmi. Kerbau yang telah disembelih,  maka akan dimiliki oleh roh yang meninggal sebagai bekal kealam puyah . Kerbau yang besar bertanduk panjang akan menuntun roh ke alam puyah dengan mudah.
Pada hari penerimaan tamu secara resmi, tamu melaporkan dulu ke panitia dari keluarga siapa, berapa yang ikut serta, berapa korban yang akan dipersembahkan.  Pada masyarakat yang menganut kepercayaan Aluktodolo mereka percaya adanya kehidupan setelah kematian yaitu di alam puyah. Maka apaabila sedikit yang dikorbankan, maka sedikit pula yang dibawanya. Jika tidak dilakukan upacara seperti ini maka jenazah tidak bisa masuk gerbang dunia puyah.
Setelah dipersilahkan duduk disuatu tempat, tamu disambut tuan rumah sebagai  penghormatan dengan menawarkan sirih, rokok, tembakau, yang dibawa diatas pakinangan yang terbuat dari kayu ambon yang dilapisi kuningan. Disinilah mereka bersilaturahmi saling memperkenalkan diri. Terkadang antar keluarga saling mengintip kalau mau menjodohkan anaknya. Usailah acara penerimaan tamu, para tamu dipersilahkan menuju pondok- pondok (lantang) tempat penginapan mereka. Pada sore harinya, daging- daging dibagi. Pembagian daging telah  ditentukan potong- potongannya. Besar kecilnya disesuaikan dan diatur sesuai jabatan yang dipangkunya di dalam adat dan dalam masyarakat. Bagian kepala kerbau untuk bangsawan tinggi juga tamu yang dimulyakan. Bagian paha berdaging diperuntukkan pemangku adat yaitu tomakaka dan toparengge dan orang yang dihormati. Bagian perut untuk rakyat kebanyakan,dan para pekerja. Bagian perut tengah untuk rakyat di desa itu. Di sinilah letak solidaritas sosial bagi masyarakat toraja. Masyarakat yang dikucilkan tidak akan menerima pembagian daging, ini merupakan sanksi moril dari anggota masyarakat. Bagi orang yang mempunyai keluarga tidak diupacarakan mereka dianggap tidak bertanggung jawab, keterlaluan dan tidak mempunyai rasa kasih sayang dan pada akhirnya orang tersebut akan memperbaiki perbuatannya.
Tiba saatnya menjelang upacara makpayang setelah jenazah diturunkan dari lakyan kemudian diletakkan pada sarigan yaitu usungan yang terbuat dari kayu dan bambu. Usungan menyerupai rumah tongkonan. Sanak keluarga yang mengelilingi tidak hanya sekedar meratap namun juga melantunkan syair pujian- pujian dan juga harapan bagi orang yang meninggal. Dengan kesadaran kekerabatannya mereka ikut bela sungkawa sekaligus memperbaharui ikatan kekeluargaan.
Setelah masuknya agama Islam, Kristen, dan sebagainya maka kegiatan keagamaan tetap dilaksanakan sesuai agama orang yang meninggal. Sedangkan rangkaian acara yang lain dilakukan untuk mempertahankan tradisi yang telah dianut nenek moyang. Dimasa lalu jenazah diletakkan begitu saja di gua- gua yang ada di lereng gunung. Setelah abad ke 11, pemakaman sudah memakai peti kayu kemudian diletakkan di tebing- tebing bukit dengan satu penyangga tiang yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Sekitar abad 17 mulai dikenal pemakaman pada liang- liang batu pada dinding batu gunung yang telah dipersiapkan sebelumnya dan dimukanya diletakkan patung tao- tao dan masih berlaku sampai sekarang.Namun ada juga pembuatan makam dengan bahan semen yang dibuat seperti rumah tongkonan.
Demikianlah dengan semangat kegotong- royongan jenazah di arak ke tempat liang batu kepunyaan sanak saudaranya. Nilai- nilai tradisi yang kuat, solidaritas sosial yang tinggi di dalam masyarakat, kegotong- royongan, ikatan kekeluargaan yang mempertebal rasa persatuan ini perlu dipertahankan untuk membantu memberi sumbangan positif bagi pembangunan bangsa dimasa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar